Dunia Guru


Ketika Profesi Guru Tak Lagi Membanggakan 

            KENDARI—Dulu, menjadi seorang guru menjadi impian banyak orang. Sebab menjadi guru, bisa membuat orang tidak tahu seuatu, menjadi tahu banyak hal. Namun seiring dengan perkembangan zaman, profesi guru bukan lagi menjadi kebanggaan. Di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) misalnya, sejumlah guru, kini ramai-ramai memburu jabatan struktural di sejumlah istansi pemerintah non- kependidikan.
Sikap ini, mengindikasikan, seorang guru tidak lagi bangga menjalani profesi sebagai guru. Akibatnya, kekurangan tenaga guru di sejumlah sekolah di daerah berlambang ”Anoa” ini semakin tak terelakkan lagi. Tidak jarang, sebuah sekolah hanya ditangani oleh dua sampai tiga orang guru. Bahkan ada sekolah yang hanya dikelola oleh dua orang guru. Dapat dibayangkan, bagaimana mutu lulusan sekolah yang demikian itu. Di Kabupaten Bombana, Provinsi Sultra misalnya, satu sekolah dasar (SD) paling banyak hanya memiliki lima orang guru, sudah termasuk kepala sekolah. Dalam kondisi seperti itu, justru banyak guru yang mengejar jabatan di pemerintahan. ”Di SD Taubonto, Kabupaten Bombana, sekolah tempat saya mengajar, hanya ada tiga orang guru termasuk kepala sekolah,” kata Saimuddin, kepada SH di Baubau akhir pekan lalu. ”Bagaimana kita bisa meningkatkan mutu pendidikan, kalau seorang guru harus mengajar di seluruh kelas untuk semua bidang studi. Kan tidak rasional itu,” Saimuddin menambahkan.


Alih Profesi 
              Apa yang diungkapkan Saimuddin, salah orang guru SD di Kabupaten Bombana tersebut ikut dibenarkan Drs H Djaliman Mady, MM, pemerhati pendidikan yang juga Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Sultra. Menurut dia, kekurangan guru tersebut lebih dipicu oleh maraknya guru yang beralih profesi, mengisi jabatan-jabatan tertentu di birokrasi pemerintahan. ”Bertahan pada profesi sebagai guru saja, kita sudah kekurangan tenaga guru. Tentu dengan membludaknya tenaga guru masuk istansi pemerintah ini, kita di Sultra semakin kekurangan guru. Dan ini sangat berbahaya bagi masa depan pendidikan anak cucu kita,” tutur Djaliman Mady dalam percakapan dengan SH di Kendari, Minggu (1/5) malam. Kepala Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sultra, Drs H Zalili Sailan, MSi tidak menapik banyaknya guru yang masuk di jajaran birokrasi pemerintahan tersebut. Namun untuk mencegah hal itu, belum aturan yang membenarkannya. ”Semua PNS memilik hak yang sama. Jadi, kita tidak bisa menghalangi mereka untuk menduduki jabatan di pemerintahan. Yang bisa melakukan itu, hanya pemerintah pusat melalui kebijakan secara nasional,” katanya.


Otonomi Daerah
               Fenomena trend-nya tenaga guru memasuki instansi pemerintah tersebut menurut Djaliman Mady, mulai menggejala ketika pemerintah memberlakukan Otonomi Daerah. Pada era ini kata dia, mereka yang berprofesi sebagai guru merasa memiliki hak yang sama dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) lainnya untuk mendapatkan jabatan structural di pemerintahan. Padahal jelas Djaliman, dari segi penjenjangan karier, tenaga guru sangat berbeda jauh dengan tenaga administrasi pemerintahan. ”Kalau tenaga guru pangkatnya bisa naik setiap dua tahun, tenaga administrasi pemerintahan sudah beruntung kalau bisa naik pangkat setiap empat tahun. Karena itu, sangat tidak adil, kalau tenaga guru diberi kesempatan yang sama dengan tenaga administrasi untuk mengisi jabatan struktural. Sebab itu tadi, penjenjangan kariernya berbeda jauh dengan PNS di pemerintahan,” kata Djaliman. Fenomena guru yang ingin meninggalkan profesinya ini, menjadi ancaman serius bagi dunia pendidikan.  Bukan tidak mungkin, ke depan Sultra akan semakin sulit untuk mendapatkan tenaga guru. Dampaknya yang lebih jauh, mutu pendidikan di daerah akan terus melorot, jauh di bawah standar nasional. Masalahnya lanjut Djaliman, lembaga pendidikan yang mencetak sumber daya tenaga guru, belakangan ini, hampir tidak ada lagi. Yang masih tersisa, tinggal PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar) dan FKIP di Perguruan Tinggi. Sedangkan SPG dan IKIP, sudah ditutup sejak beberapa tahun terakhir. ”Ada SPG dan IKIP saja, kita sudah kekurangan guru. Tentu dengan hilangnya kedua lembaga itu, tenaga guru ke depan akan menjadi langka. Ini akan menjadi preseden buruk bagi pendidikan anak cucuk,” katanya.  Diungkapkan Djaliman, saat ini saja, Sultra sudah kekurangan tenaga guru cukup besar. Khusus di Kabupaten Buton, jumlah kekurangan guru di berbagai tingkatan pendidikan mencapai 1.600 orang lebih. Itupun data di tahun 2002 lalu. Jumlah kekurangan guru tersebut jelas Djaliman diperkirakan terus bertambah, seiring dengan banyaknya jumlah guru yang ditempatkan di beberapa instansi pemerintah non- kependidikan.
”Tenaga guru di Buton, sudah memasuki hampir seluruh instansi pemerintah. Pada saat yang sama, sejumlah sekolah sangat kekurangan guru. Ini, sangat berbahaya bagi dunia pendidikan kita, terutama menyangkut kualitas lulusan,” kata Djaliman yang mengaku prihatin melihat fenomena itu. Menurut Djaliman, penempatan tenaga guru di instansi non-pendidikan, selain menjadi ancaman bagi melorotnya mutu pendidikan, juga sangat tidak efektif bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sebab tenaga guru belum tentu menguasai dan memahami bidang tugasnya ketika berada di lingkungan pemerintahan. ”Tenaga guru mungkin saja menguasai teori dan ilmunya. Tetapi pada tataran aplikasi, mereka mesti harus belajar lagi, dan itu butuh waktu. Ini yang sangat tidak efektif bagi penyelenggaraan administrasi pemerintahan,” katanya. Untuk mencegah masalah ini menurut Djaliman, tidak ada pilihan lain kecuali pemerintah pusat bisa mengeluarkan kebijakan nasional, yang melarang tenaga guru masuk instansi non- kependidikan.


Perbaikan Nasib
             Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi Sultra, Drs La Parisa Salik tidak menyalahkan sikap guru yang beralih profesi itu. Menurutnya, sejumlah guru menempuh langkah itu, semata-mata ingin memperbaiki nasib, menambah tingkat kesejahteraan. Sebab bertahan menjadi guru, gaji yang diterima tidak mampu lagi mengurangi beban hidup keluarga yang dirasakan amat berat. ”Gaji seorang guru, sangat berbeda jauh dengan PNS di pemerintahan. Makanya, tidak usah heran, kalau banyak guru beralih profesi,” kata La Parisa
Karena itu lanjut La Parisa, bila menginginkan guru tetap pada profesinya, tidak ada pilihan lain kecuali    pemerintah segera memperhatikan nasib para guru. Minimal, guru-guru diberikan tunjangan profesi yang memadai. Menurut La Parisa, bila profesi guru dihargai sesuai dengan beban tugas dan pengabdiannya, mencerdaskan kehidupan bangsa, orang akan tertarik menjadi guru. Dengan begitu, masalah kekurangan guru hanya karena guru beralih profesi tidak akan terjadi lagi. ”Kalau guru-guru diberikan tunjangan yang ideal, orang yang tidak berprofesi guru pun bisa tertarik jadi guru. Apalagi mereka yang memang berprofesi guru, tentu akan kembali menjalani tugasnya sebagai guru,” kata La Parisa tanpa menyebut nilai tunjangan ideal bagi seorang guru. ***

Oleh : Ike Wardhana Efroza


Profesi Guru
             Guru adalah profesi yang mempersiapkan sumber daya manusia untuk menyongsong pembangunan bangsa dalam mengisi kemerdekaan. Guru dengan segala kemampuannya dan daya upayanya mempersiapkan pembelajaran bagi peserta didiknya. Sehingga tidak salah jika kita menempatkan guru sebagai salah satu kunci pembangunan bangsa menjadi bangsa yang maju dimasa yang akan datang. Dapat dibayangkan jika guru tidak menempatkan fungsi sebagaimana mestinya, bangsa dan negara ini akan tertinggal dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian waktu tidak terbendung lagi perkembangannya.
            Dokter adalah profesi yang memberikan pelayanan kesehatan kepada sumber daya manusia yang merupakan tenaga penggerak dalam menjalankan pembangunan. Tidak bisa dibayangkan akibatnya jika dokter tidak memberikan pelayanan sebagaimana mestinya.
Namun sungguh disayangkan, dalam faktanya, guru dan dokter dalam berbagai aspek sangat berbeda sekali bagaikan langit dan bumi *halaah sampe segitunya*. Guru yang dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa memang benar2 jasanya kurang dihargai.
            Sementara dokter secara ekonomi sudah tidak bisa kita karakan lagi perbedaannya dengan guru. Kita sudah melihat dokter mendapat beberapa fasilitas, tunjangan, intensif dll yang menempatkan profesi dokter sebagai profesi yang layak utnuk dihargai dalam masyarakat.
Banyak guru di sekolah tanpa memiliki ijasah kependidikan. Jika hal itu terjadi didalam profesi dokter, setiap sarjana bisa melaksanakan praktek, berapa juta manusia yang akan menjadi korban malpraktek??. Sama halnya jika semua sarjana dapat menjadi guru *terlebih lagi yang tidak memiliki ijasah akta mengajar*, akan berapa banyak lagi generasi kita yang akan menjadi korban miseducation??
Kita sebagai insan pendidikan sangat mendukung program sertifikasi yang dilakukan pemerintah. Kebijakan itu diharapkan dapat menstratakan guru menjadi lebih baik. Amin.
Kita tidak akan melihat lagi tayangan televisi “Eagle Award” yang menayangkan seorang kepala sekolah merangkap sebagai pemulung. Ini adalah kenyataan akibat dari kurangnya penghargaan terhadap guru. Bagaimana tujuan pendidikan akan berhasil dicapai jika guru masih mempunyai tujuan yang beraneka ragam.
Nah sekarang bagaimana sikap guru terhadap profesinya sebagai guru agar proses fasilitasinya semakin bermutu? Untuk mewujudkan efisiensi dan efektivitas proses pembelajaran, ada dua hal yang sebaiknya dilakukan seorang guru.
            Pertama, penciptaan dan menataan suatu kondisi edukatif yang nyaman, aman, tenang dan tentram. Hal ini menyangkut relasi antara gur dan murid terutama dalam proses pembelajaran di kelas. Adanya suasana yang menyenangkan, akrab, penuh pengertian dan mau memahami sehingga murid merasakan bahwa dirinya telah dididik dengan penuh cinta dan tanggung jawab.
            Kedua, guru sebaiknya memiliki, memahami, menghayati dan mengimplementasikan perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen total. Guru harus memiliki spirit sukses, roh keberhasilan dan motivasi murni untuk meraih dan menikmati keberhasilan.
             Hal tersebut bisa tercapai jika guru menghayati profesi keguruannya. Berikut catatan singkatnya.
Ketika guru sungguh dihayati sebagai rahmat, maka seorang guru bekerja tulus penuh syukur. Bekerja senantiasa berbuat baik dan menunjukkan kemurahan hati bertekad menjadi guru yang lebih baik lagi.
             Sebagai penerima amanah, guru terikat secara moral untuk mendidik muridnya hingga mencapai kedewasaan biologis-psikologis-spiritual sehingga guru bekerja benar dengan penuh tanggung jawab.
Panggilan hidup sebagai guru dipenuhi untuk menjawab suara Sang Pemanggil. Seorang (guru) yang secara natural menghayati panggilan jiwanya akan sukses dalam melaksanakan tugas panggilannya.
Aktualisasi diri akan terlaksana melalui pekerjaan, karena bekerja (sebagai guru) adalah pengerahan energi biologis, psikologis, spiritual yang selain membentuk karakter dan kompetensi kita membuat sehat lahir batin ssehingga dapat berkembang secara maksimal.
             Menghayati guru sebagai ibadah membuat guru bekerja serius penuh kecintaan. Karena hakikat ibadah adalah persembahan diri, penyerahan diri yang dilandasi kesadaran mendalam dan serius bahwa kita berutang cinta kepada Dia yang kita puja. Sehingga kita patut mengabdi dengan sepenuh cinta pula.
Penghayatan bahwa guru adalah seni akan mendatangkan suka cita dan kegembiraan hati dalam bekerja memicu gagasan cerdas seorang guru untuk bekerja kreatif.
Menghayati guru sebagai kehormatan akan membuat guru bekerja sebaik2nya, mengedepankan mutu setinggi2nya dan menampilkan prestasi sebagus2nya.
             Melayani adalah pekerjaan yang mulia. Kerja yang berorientasikan pada hal2 yang mulia membuat hidup kita menjadi lebih bermakna. Jadi sebagai guru, bekerjalah denga penuh jiwa melayani penuh kerendahan hati.
Kesimpulan dari tulisan campur aduk di atas adalah perbaiki kualitas pendidikan dengan meningkatkan kualitas guru.
Wallahu’alam.

Oleh : Nurita Putranti



Menjadi Guru Profesional

Menjadi profesional, berarti menjadi ahli dalam bidangnya. Dan seorang ahli, tentunya berkualitas dalam melaksanakan pekerjaannya. Akan tetapi tidak semua Ahli dapat menjadi berkualitas. Karena menjadi berkualitas bukan hanya persoalan ahli, tetapi juga menyangkut persoalan integritas dan personaliti
Dan kata profesional bukan hanya kata baku yang diperuntukkan bagi mereka yang kerja dikantoran. Bekerja di dalam ruang berAC, memakai kemeja, jas mahal, celana bahan bagi laki-lakinya, atau memakai blazer, rok mini, berkutat dengan orang-orang penting yang biasa disebut dengan istilah “meeting”. Tidak! kata professional berlaku untuk setiap profesi. Termasuk guru.
Guru harus memiliki keahlian tertentu dan distandarkan secara kode keprofesian. Bila ia tak punya keahlian menjadi guru maka tidak dapat disebut sebagai guru. Oleh karnanya tidak semua orang bisa menjadi guru.
Namun, pada kenyataannya banyak ditemui bahwa pilihan profesi guru sebagai pilihan profesi terakhir. Profesi ini dirasa kurang bonafide, dekat dengan status sosial menengah ke bawah, bergaji kecil, tidak sejahtera, dan hidup dibawah garis kemiskinan. Bahkan ada guru yang diambil dengan asal comot. Yang penting ada yang mengajar.
Padahal guru adalah operator kurikulum pendidikan. Pengentas kebodohan Ia merupakan mata rantai dan pilar peradan sekaligus benang merah kemajuan suatu masyarakat dan motor penggerak peradaban suatu bangsa.
Dapat dibayangkan bila profesi ini diamanahkan bagi mereka yang tidak profesional dan menjadikan profesi ini sebagai pilihan terakhir. Akan dibawa kemana bangsa ini?

Guru Profesional
Guru profesional adalah guru yang meramu kualitas dan integritasnya. Mereka tidak hanya memberikan pembelajaran bagi peserta didiknya tapi mereka juga harus menambah pembelajaran bagi mereka sendiri karena jaman terus berubah. Ia harus terus meningkatkan kemampuan serta keterampilannya dalam berbagai bidang.
Perningkatan kualitas ini tidak hanya didapat melalui ruang formal saja. Tapi juga bisa melalui pelatihan-pelatihan peningkatan kualitas guru. Dan diharapkan peningkatan kualitas guru ini dapat menghapus stigma akan penyakit guru dibawah ini.
Agar tidak ada lagi 11 penyakit yang rentan diderita guru:
1. Tipes : Tidak punya selera
2. Mual : mutu amat lemah
3. Kudis : Kurang disipiln
4. Asma : Asal masuk kelas
5. Kusta : Kurang Strategi
6. TBC : Tidak Bisa Computer
7. KRAM : Kuram Terampil
8. Asam Urat : Asal Sampaikan materi urutan kurang akurat
9. Lesu : Lemah Sumber
10. Diare : Dikelas Anak-anak remehkan
11. Ginjal : Gajinya nihil jarang aktif dan terlambat

Yuk jadi guru berkualitas. Yang menjadikan profesinya tidak hanya profesi penopang kehidupannya di dunia tapi juga sebagai tabungan untuk kehidupannya di akhirat.

 
  
 Oleh : Nessa Morena



10 Ciri Guru Profesional



1. Selalu punya energi untuk siswanya
Seorang guru yang baik menaruh perhatian pada siswa di setiap percakapan atau diskusi dengan mereka. Guru yang baik juga punya kemampuam mendengar dengan seksama.

2. Punya tujuan jelas untuk Pelajaran
Seorang guru yang baik menetapkan tujuan yang jelas untuk setiap pelajaran dan bekerja untuk memenuhi tujuan tertentu dalam setiap kelas.

3. Punya keterampilan mendisiplinkan yang efektif
Seorang guru yang baik memiliki keterampilan disiplin yang efektif sehingga bisa  mempromosikan perubahan perilaku positif di dalam kelas.

4. Punya keterampilan manajemen kelas yang baik
Seorang guru yang baik memiliki keterampilan manajemen kelas yang baik dan dapat memastikan perilaku siswa yang baik, saat siswa belajar dan bekerja sama secara efektif,  membiasakan menanamkan rasa hormat kepada seluruh komponen didalam kelas.

5. Bisa berkomunikasi dengan Baik Orang Tua
Seorang guru yang baik menjaga komunikasi terbuka dengan orang tua dan membuat mereka selalu update informasi tentang apa yang sedang terjadi di dalam kelas dalam hal kurikulum, disiplin, dan isu lainnya. Mereka membuat diri mereka selalu bersedia memenuhi  panggilan telepon, rapat, email dan sekarang, twitter.

6. Punya harapan yang tinggi pada siswa nya
Seorang guru yang baik memiliki harapan yang tinggi dari siswa dan mendorong semua siswa dikelasnya untuk selalu bekerja dan mengerahkan potensi terbaik mereka.

7. Pengetahuan tentang Kurikulum
Seorang guru yang baik memiliki pengetahuan mendalam tentang kurikulum sekolah dan standar-standar lainnya. Mereka dengan sekuat tenaga  memastikan pengajaran mereka memenuhi standar-standar itu.
8. Pengetahuan tentang subyek yang diajarkan
Hal ini mungkin sudah jelas, tetapi kadang-kadang diabaikan. Seorang guru yang baik memiliki pengetahuan yang luar biasa dan antusiasme untuk subyek yang mereka ajarkan. Mereka siap untuk menjawab pertanyaan dan menyimpan bahan menarik bagi para siswa, bahkan bekerja sama dengan bidang studi lain demi pembelajaran yang kolaboratif.

9. Selalu memberikan yang terbaik  untuk Anak-anak dan proses Pengajaran
Seorang guru yang baik bergairah mengajar dan bekerja dengan anak-anak. Mereka gembira bisa mempengaruhi siswa dalam kehidupan  mereka dan memahami dampak atau pengaruh yang mereka miliki dalam kehidupan siswanya, sekarang dan nanti ketika siswanya sudah beranjak dewasa.

10. Punya hubungan yang berkualitas dengan Siswa
Seorang guru yang baik mengembangkan hubungan yang kuat dan saling hormat menghormati dengan siswa dan membangun hubungan yang dapat dipercaya.


Oleh : Agus Sampurno

http://gurukreatif.wordpress.com/2009/11/06/10-ciri-guru-profesional/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar