Potret Dunia Pendidikan


Potret Dunia Pendidikan Indonesia ..... (mengapa Indonesia gak maju-maju)
 
1. Pendidikan sekarang ini seperti tidak bermanfaat. Karena Banyak sekali universitas-universitas dibangun akan tetapi lapangan kerja sangat sedikit. Kualitas Sumber daya manusia yang begitu besar seperti terbuang percuma, padahal untuk meraih jenjang pendidikan yang tinggi itu memerlukan biaya yang tinggi. Banyak sekali sarjana2 yang menganggur atau bekerja tidak sesuai dengan pendidikannya. Kalo pun mereka mau wiraswasta, banyak kendala bahan baku, modal, dan birokrasi koruptif. Sekali lagi tidak ada istilah the right man in the right place tetapi the rich man in the wet place.

    Karena itu sekarang ini orang2 lumayan kaya cenderung tidak menguliahkan anaknya. Mending daftar polisi atau tentara, daripada uang terbuang buat cari sarjana lalu nganggur mending buat ndaftar itu langsung, kan bisa balik modal cari sampingan. ………….

    Itu adalah universitas,. Bagaimana lulusan SMA, SMK, SMP atau SD. Kebanyakan mereka yang tidak mempunyai ortu kaya ya cuma menganggur atau menjadi kuli bagi yang cowok, atau mencoba menjadi TKI atau TKW ilegal, atau bahkan menjual diri bagi yang cewek. Atau kalao frustasi lama nganggur, yaa ngerampok, nyopet, malak, mpreman……

2. Dunia pendidikan adalah bisnis koruptif. Silahkan ke daerah2 lalu tanyakan untuk jadi kepala sekolah berapa puluh juta? SD 25 juta SMP 50-75 Juta SMA 100 juta. Berapa juta untuk jadi Kepala Dinas? …….(memang ini gara2nya kepala daerah yang nyalon bagi2 duit atau memang karena penyakit birokrasi) lalu mereka mencari jalan agar modal kembali. Jualan Buku, Proyek Gedung, Jualan Seragam, Proyek Alat Peraga Proyek Laborat, Seminar dan Pelatihan2 Omong kosong, Proyek-proyek itu banyak sekali unsur-unsur koruptif. Pada proyek2 berjuta2 atau milayaran itu banyak sekali mark up. 100% dana itu apakah benar2 digunakan? , silahkan dicek berapa yang benar2 digunakan gak sampai 10% atau 15% yang 90% masuk kantong atau bancaan., dan itu merata, yang Pejabat besar dapat besar yang pegawai kroco dapet uang tutup mulut :shutup:. Makanya jangan heran ada gedung sekolah baru saja direhap lalu roboh menimpa muridnya. ………..

    Itu Korupsi ke atas (dana dari pemerintah/BOS/dll) yang lebih parah apabila mereka mengkorup dana dari masyarakat. Uang Gedung, Uang Buku, Uang … uang ……. Uang yang mencekik orang tua siswa khususnya rakyat miskin. ……..mereka memandang murid-murid bagaikan (sumber) uang-uang yang berjalan kalo ada yang nunggak SPP dan Uang Gedung mereka bilang “orang miskin dilarang sekolah”

     Aku Yakin sesungguhnya banyak anak-anak Indonesia yang berotak Einstein atau lebih cerdas lagi tetapi tidak tersalurkan atau terkembangkan, jadilah mereka pengamen jalanan atau pemulung………. Ironis 









Potret Muram Dunia Pendidikan Kita 

      Berbicara tentang pendidikan berarti saya membicarakan diri sendiri, karena saya termasuk seorang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Sudah lebih seperempat abad saya sebagai guru maupun dosen dan banyak hal yang dapat saya petik dari pengalaman tersebut. Pengalaman maupun hal-hal yang saya
rasakan langsung dan informasi maupun data yang saya peroleh, saya tuangkan dalam tulisan yang sedang dibaca ini. Sebagaimana dimaklumi bahwa pendidikan adalah suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang, dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (kamus besar bahasa Indonesia). Sedangkan peran pendidikan, secara umum adalah memberikan bimbingan, pengajaran dan pelatihan. Khusus untuk pendidikan tinggi perannya adalah sebagai lembaga untuk mendidik mahasiswa berwawasan luas dan tenaga kerja profesional yang mampu dan terampil untuk melaksanakan tugas pembangunan bangsa.
    Kita tahu bahwa yang terlibat dalam proses pendidikan adalah : penyelenggara, guru/dosen, anak didik, orangtua dan pemerintah yang didukung oleh sarana yang memadai dan kurikulim yang tepat. Apabila salah satu atau sebagiannya bermasalah, maka bermasalah pulalah proses pendidikan tersebut.

Prihatin
     Pendidikan di negeri kita saat ini betul-betul dalam kondisi yang memprihatinkan, dapat kita lihat dari fakta dan data yang bersumber dari media, sebagai berikut :
1. Minat baca masyarakat masih sangat rendah (Riau Mandiri 02 Juli 2005)
2. Mutu lulusan SD dan SMP tahun 50an dan 60an lebih baik dari lulusan sekarang (Yusuf Kalla, 14 Juli 2007)
3. Sebanyak 80 persen anggaran pendidikan habis untuk gaji guru (UNESCO 2007)
4. Sistem pendidikan gagal mencetak Sumber Daya Manusia berkualitas dan gagal mencetak manusia beretika (UNESCO 2007)
5. Institusi pendidikan tak ubahnya seperti pencetak mesin ijazah (Riau Mandiri, 27 April 2008)
6. Mutu Pendidikan merosot karena pembentukan karakter diabaikan (Kompas, 18 November 2008)
7. Hanya 50 persen perguruan tinggi swasta yang sehat (APTISI, Kompas 2008)
8. Perguruan tinggi terbaik Indonesia belum termasuk 20 terbaik Asia (Kompas 2008)
9. Tanpa Revolusi, pendidikan terus terpuruk (Kompas, 27 Agustus 2008)
10. Enam PTN terbaik Indonesia berada pada rangking 360an dunia (Kompas 2008)
11. Sebanyak 60 persen guru SD tidak layak, 30 persen guru SLTP/SLTA tidak layak (Riau Mandiri, Februari 2009)
12. Minim jurnal terakreditasi, baru sembilan jurnal terakreditasi Internasional (Kompas, 19 Agustus 2009)
13. Pendidikan nasional tak dipercaya (Kompas 7 April 2009)
14. Pendidikan abaikan karakter (Kompas, 15 Januari 2010)
15. Sebanyak 1820 orang guru di Riau melakukan plagiat (seluruh media lokal Pekanbaru)
16. Orientasi pendidikan masih mengejar kuantitas, belum kualitas (Kompas, April 2010).

     Informasi tersebut di atas merupakan opini masyarakat terhadap dunia pendidikan dan yang paling kita rasakan akhir-akhir ini ialah hilangnya etiket dan sopan santun dari kalangan muda, terutama anak-anak sekolah dan mahasiswa. Menipisnya rasa saling menghormati sesama dosen terutama dosen muda. Tidak ada tegur sapa, cuekisme tumbuh subur. Dosen-dosen muda sudah merasa dialah segala-galanya, sok pintar dan merasa orang penting (maklum sudah menjadi dosen). Begitu pula para alumni perguruan tinggi yang berada di dunia politik, birokrasi, legislatif, yudikatif, dunia bisnis, dunia pendidikan, dan tak ketinggalan dibidang agama, sudah banyak melanggar etika dan moral. Tiada hari tanpa berita korupsi, perselingkuhan, keberingasan, ketidakadilan dan sebagainya. Kesemuanya itu terjadi oleh karena hilangnya etika dan moral, akibat pendidikan mengabaikan karakter.
   Pendidikan hanya mengutamakan intelektualitas dan orang berlomba-lomba mendapatkannya walaupun dengan cara yang tidak etis. Padahal sudah sejak lama para pemerhati pendidikan menyuarakan pentingnya pembentukan karakter pada anak didik mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi. Banyak lagi berita koran, maupun buku-buku yang menyerukan kembalilah kepada pembentukan karakter. Opini dan artikel dimedia cetak malah hampir setiap minggu menyuarakan pendidikan karakter sudah mendesak dan mambangun karakter sebuah keharusan. Ada lagi sebuah berita Harian Kompas, 05 April 2010 menyebutkan bahwa Indonesia butuh guru yang bisa jadi inspirasi, teladan, motivator. Padahal puluhan tahun yang silam, legendaris dunia Mahatma Ghandi telah mengingatkan :“Salah satu penyebab matinya kehidupan dunia adalah Knowledge without Character. Knowledge is power but character is more. Namun sayang di negeri kita orang-orang yang terlibat dalam proses pendidikan tak peduli, cuek terhadap saran, kritikan maupun masukan dari banyak kalangan untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional kita. Maksud hati memeluk gunung apa daya gunung meletus. Seperti itulah situasi dan kondisi dunia pendidikan nasional kita. Kinginan untuk merubah atau memperbaiki menjadi lebih baik baru sebatas wacana. Kita hanya pasrah menunggu dan menunggu. Dulu tahun 50-an dan 60-an tak ada profesor dan doktor, tapi pendidikan saat itu sangat bermutu, anak didik beretiket dan bersopan santun. Sekarang profesor dan doktor dibidang pendidikan semakin banyak, justru mutu pendidikan sebaliknya. Hanya berwacana, analisis, berdebat, maklum seorang profesor dan doktor tidak pula mengeluarkan pendapat dan analisis tentu malu. Maka bertaburanlah analisis maupun wacana, sedangkan kenyataannya tetap saja memprihatinkan.
    Semua yang kita sebut di atas kuncinya terletak pada kualitas guru dan dosen, karena merekalah ujung tombak atau yang berhadapan langsung dengan anak didik. Sehebat apapun kurikulum, sarana yang memadai, jika guru dan dosen tak mampu atau tak berkualitas, hanya ibarat benda atau mainan yang mahal. Di sinilah titik lemah kita dimana guru dan dosen kebanyakan mereka hanyalah berpredikat pengajar, bukan pendidik, apalagi sebagai inspirator dan motivator. Guru yang demikian masih langka.
     Seorang guru atau dosen disamping berilmu harus berbakat, kalau tidak jangan coba-coba berdiri di depan orang banyak. Seorang profesor atau doktor sekalipun tidak jaminan menjadi seorang guru atau dosen yang mampu mengajar dan mendidik dengan baik, barangkali saja mereka cocok sebagai tenaga ahli , peneliti, dan sebagainya. Di lembaga-lembaga pendidikan tingkat apa pun bahwa guru dan dosen merupakan unsur yang paling penting dari segala unsur-unsur yang lain. Jika kita ingin merubah potret muram dunia pendidikan kita, perbaikan total terhadap guru dan dosen dengan segala aspeknya, dimulai dari penghasilannya, karena tak mungkin kita banyak berharap kepada mereka dimana penghasilannya sangat pas-pas-an. Kapan untuk membeli buku, berlangganan koran dan majalah, untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka saja masih pusing tujuh keliling. Padahal untuk menjadi guru yang baik yang berwawasan harus banyak membaca, banyak berkomunikasi, jangan sampai terjadi mahasiswa lebih pintar daripada dosen.
     Berikutnya memperbaiki image lembaga pendidikan tidak hanya mengejar kuantitas mahasiswa tetapi harus diikuti dengan kualitas. Walaupun disadari terutama lembaga pendidikan swasta harus mendapatkan banyak anak didik tapi jangan dilupakan kualitasnya. Jangan bangga lulus 100 persen, tapi kualitasnya dipertanyakan orang. Masih ingat, tahun 50an dan 60an rata-rata kelulusan anak didik hanya berkisar 70 s.d. 80 persen, tapi kualitasnya diakui. Sekarang orang berlomba-lomba agar lulus 100 persen dengan segala cara dan guru pun ikut berlomba-lomba untuk mendapatkan status dan pangkat dengan menjiplak karya orang lain. Padahal kita punya PGRI sebagai wadah guru dan banyak dipimpin oleh profesor dan doktor. Sekali lagi karakter harus dibangun terhadap anak didik dan tanggung jawab utama terletak di pundak guru dan dosen. Kurikulum yang tepat yang memberikan porsi memadai terhadap moral dan akhlak sangat didambakan. Apapun disiplin ilmu guru dan dosen harus dibarengi dengan motivasi dan pembentukan karakter dalam memberikan pelajaran atau pun kuliah.
    Peranan orangtua tentu tidak bisa diabaikan, terutama memotivasi anak bahwa keberhasilan sangat ditentukan oleh anak itu sendiri, serius dan rajin karena ilmu merupakan kebutuhan hidup.
     Pemerintah tentu mendukung dengan sarana maupun anggaran pendidikan yang layak ataupun subsidi-subsidi, sekaligus pengawasan terhadap operasional pendidikan jangan diabaikan. Jangan lupa pula menciptakan lingkungan yang terdidik, termasuk menjaga budaya-budaya yang tidak cocok yang akan mempengaruhi perilaku anak bangsa dan dalam hal ini merupakan tanggung jawab kita bersama.
Potret muram pendidikan akan menjadi cemerlang apabila kita menyadari bahwa kondisi pendidikan saat ini begitu menyedihkan dan kita harus segera siap untuk berubah (Readiness to change).
      Jika ada kemauan tak ada yang mustahil di dunia ini. Kita harus berubah, karena yang tidak pernah berubah hanyalah perubahan itu sendiri, semoga.

Oleh : Iqbal Ali
Penulis Adalah Pemerhati Pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar